Saturday, October 08, 2005

Soal gelar pahlawan .... Radio Hilverseum - Nederland

Soal Gelar Pahlawan

militer dan polisi jangan memonopolinya

Wawancara Ranesi di Hilversum, 10 November 2004

Raja Ali Haji, seorang sastrawan Melayu, komponis Ismail Marzuki dan Ahmad Rifai, termasuk enam orang yang diberi status pahlawan pada hari pahlawan 10 Nopember ini. Namun siapa saja yang berhak menjadi pahlawan? Menurut Asvi Warman Adam, sejarawan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indondesia (LIPI), Jakarta, Peraturan Presiden No 33 Tahun 1964 tentang kriteria pahlawan RI harus dirubah. Dia mengusulkan agar bukan hanya militer dan tokoh politik saja yang berhak menjadi pahlawan, tetapi juga tokoh-tokoh di bidang lain seperti olahraga, ekonomi dan sastra berhak menjadi pahlawan. Orang seperti Uskup Belo, kalau seandainya dia masih warga negara Indonesia, juga berhak menjadi pahlawan. Pramoedya Ananta Toer, kalau dia menang hadiah Nobel dan telah meninggal dunia, juga berhak menjadi pahlawan. Selain itu dia tidak sependapat adanya pengganjalan terhadap orang-orang yang pernah melakukan 'nista' seperti Sanusi yang ikut Petisi 50. Berikut keterangan sejarawan LIPI Asvi Warman Adam.

Kriteria pahlawan harus diperbarui dan diperluas
Asvi Warman Adam (AWA): Karena definisinya itu sendiri memang mengarah kepada militer. Jadi orang yang berjasa terhadap negara, orang yang membela negara itu kan lebih banyak terarah kepada militer. Dan yang kedua itu ada usaha juga untuk mengganjal orang-orang yang dianggap pernah melakukan nista di dalam kehidupannya. Nah yang dimaksudkan itu adalah orang-orang yang pernah terlibat pemberontakan. Jadi orang-orang seperti Syafruddin Prawiranegara misalnya, yang terlibat PRRI, itu agak sulit untuk menjadi pahlawan.

Untuk tahun ini saya mendengar juga bahwa Sanusi Harjadinata tidak menjadi pahlawan nasional, walaupun sudah diusulkan oleh rakyat Jawa Barat. Sanusi Harjadinata itu seorang pahlawan, seorang tokoh nasionalis, pernah menjadi menteri dalam negeri, pernah juga menjadi gubernur di Jawa Barat pada waktu Konferensi Asia Afrika di Bandung dan juga pernah menjadi rektor Unpad. Beliau terganjal karena menjadi penandatangan Petisi 50. Padahal apa dosanya orang menandatangani sebuah petisi yang isinya kritik terhadap pemerintah atau presiden yang berkuasa pada waktu itu?

Nah kriteria pahlawan nasional itu berdasarkan penetapan Presiden tahun 1964, pada masa Soekarno. Seharusnya diperbaruilah sehingga orang yang bukan di bidang politik atau militer atau keamanan itu bisa juga mendapat gelar pahlawan. Dan juga hendaknya dihapuskan kriteria orang-orang yang pernah melakukan sesuatu hal yang nista. Nista itu kan juga relatif. Jadi, hal-hal semacam ini yang perlu diluruskan untuk masa yang akan datang.

Radio Nederland (RN): Tapi tampaknya memang peranan yang berkuasa pada saat tertentu memang sangat penting untuk menentukan kriteria pahlawan.

AWA: Ya jelas. Karena kriteria itu juga dibikin oleh orang yang sedang berkuasa. Tetapi hendaknya dari masyarakat itu ada kritik sehingga diharapkan ada perubahan. Saya ingin supaya kriteria pahlawan itu lebih diluaskan. Jadi bukan hanya pada bidang militer, bukan hanya pada bidang politik, tetapi juga pada dunia olah raga. Jadi, orang yang berjasa kepada negara dan bangsa kita, itu bisa menjadi pahlawan.

Kalau misalnya Rudi Hartono, kalau dia meninggal, itu pantas menjadi pahlawan. Karena dia sangat besar jasanya membela nama baik bangsa. Dia mempunyai prestasi internasional yang luar biasa. Juga ada tentunya pahlawan lain di dalam bidang olahraga selain dari bulut tangkis. Kalau misalnya orang-orang yang pernah mendapat Nobel misalnya - ya yang saya maksudkan Uskup Belo itu - kalau masih menjadi orang Indonesia, itu pantas dianggap sebagai pahlawan.

RN: Kalau misalnya Parmoedya Antanta Toer bisa juga ya menjadi pahlawan?

AWA: Bisa. Kalau ya katakanlah dia mencapai misalnya prestasi hadiah Nobel. Itu akan lebih menguatkan lagi. Karena orang-orang itu, meskipun pernah dibuang, pernah berseberangan dengan pemerintah, tapi kan prestasinya itu prestasi dunia. Sekarang ditunggulah kalau misalnya dia dapat Nobel dan meninggal, ya pantas menjadi pahlawan nasional.

Prosedurnya
RN: Terus bagaimana prosedurnya untuk mengubah kriteria itu?

AWA: Usulan itu dari lembaga, dari universitas, dari provinsi, itu disampaikan kepada departemen sosial, yang kemudian membentuk sebuah tim untuk memberikan ranking. Nah, orang-orang yang sudah diranking ini diserahkan kepada Sekretariat Negara. Nah kemudian sekretariat negara yang menyerahkan lagi kepada presiden.

RN: Terus ada gejala KKN juga untuk menentukan siapa pahlawan siapa nggak?

AWA: Ya karena daerah-daerah tertentu itu ingin ada wakil mereka di daftar pahlawan nasional. Dan untuk itu ya perlu dana juga untuk bisa mencapai itu.

Demikian Asvi Warman Adam, sejarawan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indondesia (LIPI), Jakarta.

© Radio Nederland Wereldomroep, all rights reserved

www2.rnw.nl/rnw/id/topikhangat/arsipaktua/gemawarta/gelar_pahlawan041110