Saturday, October 15, 2005

RAH - Hadhir pada setiap zaman.

Raja Ali Haji, Hadir pada Setiap Zaman

MUNGKIN tidak berlebihan bila suatu kegiatan budaya yang berlangsung sebulan penuh di Peyengat Inderasakti, Kabupaten Kepulauan Riau, 1-31 Oktober 1996, dinamakan Hari Raja Ali Haji (HRAH). Tidak hanya mengingat tokoh serba bisa yang karyanya masih terus dinikmati saat ini, tetapi juga suatu upaya pewarisan, pengaktualisasian, bahkan menilai ulang pekerjaan masa lampau untuk dimanfaatkan pada masa kini maupun masa mendatang. Aktivitas dan kreativitas Raja Ali Haji merupakan simbol perjuangan kebudayaan yang belum padam di alam Melayu.

Tujuh kegiatan dipersiapkan sebulan penuh tersebut yakni pameran naskah kuno dan buku, bimbingan budaya bagi pemandu wisata, bimbingan kreatif, temu sastra, seni Melayu klasik, simposium antarbangsa, dan penerbitan buku. Ini diselenggarakan enam lembaga kemasyarakatan yaitu Pusat Pengkajian Melayu Universitas Islam Riau, Yayasan Keluarga Besar Melayu Riau, harian Riau Pos, Yayasan Membaca, Balai Maklumat Kebudayaan Melayu, dan Yayasan Pohon Perhimpunan. Gubernur Riau dan Bupati Kepulauan Riau adalah pelindung, sedangkan Dewan Kesenian Riau, Kanwil Depdikbud, serta Universitas Islam Riau, sebagai penasihat.

Sebuah pekerjaan yang tidak kecil, apalagi tidak tersedia dana khusus dalam APBD, sehingga penyelenggara misalnya harus bertungkus-lumus mencari duit. Tetapi upaya memperingati Raja Ali Haji, bukanlah baru sekarang dilakukan. Tahun 1985, suatu kelompok anak muda yang menamakan diri Kelompok Budaya Sempadan Pekanbaru, sudah merintis hal ini. "Bagi siapa pun yang berniat memperhalus kebudayaan adalah pelaksana HRAH 1996 dan hal ini sudah terniat sejak lama," kata Ketua Umum HRAH, Drs Al Azhar MA.

***

GUBERNUR Riau Soeripto, ketika meresmikan Hari Raja Ali Haji pada Kamis (3/10) lalu mengatakan, banyak orang yang sudah mendengar nama Raja Ali Haji ketika masih berada di sekolah menengah. Tokoh ini ternyata tidak hanya mengarang Gurindam XII sebagaimana banyak yang hinggap di benak orang, tetapi juga mengarang 12 buku lainnya. Di antara buku tersebut adalah Tuhfat al-Nafis (sejarah), Bustan al-Katibin, Pengetahuan Bahasa (tata bahasa), Mukaddimah fi Intizam (hukum dan politik), serta sejumlah syair seperti Syair Siti Shianah, Syair Suluh Pegawai, Syair Hukum Nikah, dan Syair Sultan Abdul Muluk.

Secara awam, ungkapan Gubernur Soeripto itu sudah melayangkan kesan bahwa sumbangan Raja Ali Haji tidak hanya Gurindam XII. Melalui dua kitabnya tentang kebahasaan misalnya, tokoh ini merupakan orang pertama di Nusantara yang berusaha membakukan bahasa Melayu. Itu pun dengan suatu catatan khusus lagi yakni bagaimana Pengetahuan Bahasa misalnya yang merupakan kamus monolingual bahasa Melayu, disusun dengan cara yang tidak lazim bagi sebuah kamus sebagaimana dikatakan Prof Dr Harimurti Kridalaksana. Entri kata kamus ini mengambil persamaan suku kata pertama dan terakhir yang penyusunannya jelaslah lebih rumit dibandingkan kamus yang dikenal secara umum.

Dalam sastra juga sebenarnya Raja Ali Haji coba membuat berbagai pembaruan. Harap ingat, Gurindam XII merupakan satu bentuk sastra yang sebelumnya tidak pernah ditemui di alam Melayu. Maknanya, melalui karya itu Raja Ali Haji memberi satu lompatan kreatif yang tidak terduga. Begitu juga tentang pembagian gender dalam sastra sebagaimana diungkapkan Hasan Junus yang diperlihatkan Raja Ali Haji lewat Syair Suluh Pegawai dan Syair Siti Shianah. Sasaran dari kedua syair itu sama, tetapi syair pertama untuk lelaki, sedangkan syair kedua untuk perempuan. Hal yang setara dengan gaya ini dapat ditelusuri pada beberapa karya sastra modern beberapa tahun terakhir.

Menurut Hasan Junus yang menulis buku Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX, Raja Ali Haji adalah sastrawan pertama yang menciptakan kiat seni (art poetica) yang disebutnya Ikat-ikatan yakni cara ia menyusun suatu syair dan pantun. "Pekerjaan" semacam ini dilanjutkan oleh Sutardji Calzoum Bachri yang juga berasal dari Riau dengan kredo puisinya: Membebaskan kata dari makna kamus. Sebagai penghayat bahasa dan sastra, tentu saja Raja Ali Haji juga sangat memperhatikan keindahan kata-kata.

RAJA Ali Haji juga membuat pembaruan dalam penulisan sejarah. Sebagaimana banyak dikatakan pakar, sebelum Tuhfat al-Nafis ditulis (1858), buku-buku yang dianggap sejarah yang ditulis kalangan Melayu, memiliki kelemahan yang paling kentara dipandang dari segi penulisan sejarah modern. Mereka tidak menyebutkan kapan suatu peristiwa terjadi, apalagi sumbernya. Tetapi melalui Tuhfat al-Nafis, Raja Ali Haji melengkapi suatu peristiwa dengan waktu secara detail, menyusul pemberitahuan tentang dari mana ia mengetahui suatu peristiwa.

Sudah barang tentu, setidak-tidaknya berbagai informasi diperoleh dari setiap karangan Raja Ali Haji. Dari tangannya, orang-orang Riau memperoleh informasi bagaimana upaya budidaya tanaman dilakukan, sampai pada soal politik, ekonomi, bahkan bumbu masakan Melayu. "Tak kurang dari 90 persen keterangan lokal tentang perang Riau, justru kita peroleh dari karya-karya Raja Ali Haji," kata budayawan Raja Hamzah Yunus.

Seperti dikatakan Dr Virginia G. Hooker dalam seminar tradisi tulis beberapa bulan lalu di Jakarta, akan banyak hal baru dari Raja Ali Haji -khususnya Riau yang serba tak terduga- jika kreativitasnya terus digeluti. Ini paling tidak terlihat dari penerbitan 100-an surat Raja Ali Haji kepada Von de Wall yang disusun oleh Jan van Der Putten dan Al Azhar di Belanda (1994). Di sini terungkap perasaan dan pikiran berbagai hal dari Raja Ali Haji yang tidak tertera dalam buku-bukunya terdahulu.

Semasa hidupnya, Raja Ali Haji juga dikenal sebagai seseorang tempat bertanya karena ia memang berfungsi sebagai penasihat kerajaan. Temenggung Abu Bakar di Johor yang secara alami sudah mulai berpisah dengan Riau, justru mengirimkan utusan ke Penyengat untuk belajar ketatanegaraan dengan Raja Ali Haji pertengahan abad ke-19. Mereka juga bertanya apakah Johor bisa menjadi kesultanan sendiri yang dijawab Raja Ali Haji dengan positif, sehingga kesultanan Johor berdiri. Ia pula yang memberi gelar Maharaja untuk penguasa Johor untuk membedakannya dengan Riau yang memakai istilah sultan.

***

PATUTLAH disebutkan, Raja Ali Haji tidaklah seorang diri. Beberapa pengarang sebelumnya, telah muncul di Riau dengan cukup gemilang. Ayahnya sendiri, Raja Ahmad, adalah seorang penulis yang baik. Tidak sedikit orang mengatakan, Tuhfat al-Nafis adalah karya Raja Ahmad yang belum selesai dan dilanjutkan oleh Raja Ali Haji. Di sini jelas, dilahirkan di Penyengat tahun 1808 dan diperkirakan meninggal dunia tahun 1873 di pulau yang sama, Raja Ali Haji, memang terdidik dalam suasana intelektual. Ayahnya selain seorang pengarang, juga penasihat kerajaan dan peniaga.

Setelah kematian Raja Ali Haji, dari Penyengat ini justru muncul 20-an pujangga yang diperkirakan langsung atau tidak langsung pernah berguru pada Raja Ali Haji. Di antara mereka yang paling terkenal adalah Raja Ali Kelana, Khalid Hitam, Aisyah Sulaiman, dan Abu Muhammad Adnan. Nama terakhir ini terlihat sangat subur yang bacaannya dalam berbagai bahasa seperti Arab dan Perancis sampai sekarang masih dapat dilihat.

Satu hal yang patut diingat, Raja Ali Haji tampil saat Kemaharajaan Melayu di Riau sudah berada pada posisi lemah. Ketika remaja, ia menyaksikan bagaimana kerajaan ini dipecah-belah menjadi dua bagian -bagian utara di bawah Inggris, sedangkan bagian selatan di bawah Belanda- melalui Traktat London 1824. Saat itu juga, nilai perdagangan Singapura yang setengah abad sebelumnya di bawah Riau, kini telah jauh meninggalkan induknya seiringan dengan kekalahan Riau melawan Belanda tahun 1784.

Kini orang pun kembali disadarkan bahwa berkat pekerjaan Raja Ali Haji, setidaknya Melayu tidak kehilangan marwah di tengah hantaman ekonomi kapitalis yang melanda bekas daerahnya, Singapura. Di tengah kesibukan Singapura membangun ekonomi, Riau pada saat itu juga yang disimbolkan Raja Ali Haji maju ke depan dengan bendera kebudayaan, di samping berusaha memperbaiki ekonomi. Dengan sendirinya, ia hadir pada setiap zaman. Lalu mampukah Hari Raja Ali Haji 1996 menangkap semangat kerja Raja Ali Haji dan lingkarannya itu untuk ditanamkan baik pada masa kini maupun masa mendatang? (Drs. Taufik Ikram Jamil)